1. Penalaran
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir (homo thinking), makhluk yang mampu membangun atau mengembangkan potensi rasa dan karsa (emosional quition); dan makhluk yang mampu membangun kualitas kedekatan pata Tuhan (spiritual quation) (Muthahhari, M.. 1997; Tafsir, A. 2007). Jadi, manusia adalah makhluk ‘multi dimensional’, dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itulah yang menjadi senjata pamungkas bagi manusia dalam mengusai atau memberdayakan alam seisinya. Kemampuan multidimensi tersebut, menyebabkan manusia mampu mengembangkan beragam ilmu pengetahuan atau kebudayaan yang kompleks menuju keunggulan hidup (civilization).
Diantara bagian terpenting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan adalah ‘kemampuan manusia untuk menalar’. Dari kemampuan menalar itulah manusia dapat: (a) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara maksimal; (b) memilih dan membedakan sesuatu itu benar atau salah, sesuatu itu baik atau tidak baik; (c) memilih beragam alternatif pilihan jalan hidup yang benar atau tidak benar, bermanfaat atau tidak bermanfaat; dan (d) terus melakukan inovasi diberbagai bidang kehidupan dengan pola perubahan yang bersifat progress of change (Ankersmit. 1987; Sztompka, P. 1993).
Kerangka Analitis tentang Legal Reasoning
a. Reasoning melalui contoh
Pola dasar legal reasoning adalah reasoning melalui contoh. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang menjadi bahan perdebatan di antara pada ahli hukum terutama di negara yang menganut case law (common law).
Pembatasan terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak keluar dari contoh legal reasoning yang di peroleh dari pengadilan terdahulu. Hal ini oleh para ahli hukum di Amerika Serikat sebagai membatasi kebebasan para hakim untuk menggunakan kemampuannya untuk melihat kasus yang di adilinya.
Akibat doktrin yang kaku ini para hakim seakan kehilangan kebebasannya untuk mencari perbedaan di dalam suatu kasus dengan kasus-kasus yang sudah diputuskan terdahulu. Dalam perkembangan teori hukum para ahli mengharapkan bahwa hakim tidak hanya berupaya melihat kasus melalui “mata” para pendahulunya, akan tetapi juga harus dapat melihat kasus yang diadilinya melalui matanya sendiri. Di negara yang yang menganut sistem hukum common law seperti Amerika Serikat dan Inggris juga terjadi perdebatan mengenai penerapan legal reasoning yang didasarkan pada doktrin “stare decisis” yang mewajibkan para hakim untuk tetap mengacu kepada preseden dari kasus terdahulu.
Di Inggris, Prof. Montrose misalnya telah menyatakan secara explisit bahwa dalam kerangka analitis reasoning melalui contoh, pandangan kebanyakan hakim di Inggris, terutama pada dekade akhir-akhir ini, adalah bahwa praktek peradilan Inggris modern membatasi kebebasan hakim Inggris untuk mengesampingkan reasoning yang diajukan oleh pengadilan terdahulu.
Sementara Mr. Cross menyatakan keberatannya bahwa akibat dari penerapan doktrin preseden tersebut secara kaku adalah bahwa hakim-hakim sering harus melihat hukum melalui mata para pendahulunya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia tidak sepakat bahwa tugas hakim di Amerika hanya untuk melihat hukum sebagai suatu yang tetap secara keseluruhan, dan menurutnya melihat hukum melalui matanya sendiri dan bukan melalui mata para pendahulunya tidak akan membawa kepada pola yang secara dominan merupakan penolakan dari reasoning yang diajukan oleh hakim terdahulu atau membuat perbedaan apabila tidak terdapat alasan untuk membedakan peristiwa yang terjadi.
Penalaran deduktif
Penalaran deduktif, kadang disebut logika deduktif adalah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya.
Contoh argumen deduktif:
1. Setiap mamalia punya sebuah jantung
2. Semua kuda adalah mamalia
3. ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
Penalaran induktif
Penalaran induktif, kadang disebut logika induktif—adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.
Contoh argumen induktif:
1. Kuda Sumba punya sebuah jantung
2. Kuda Australia punya sebuah jantung
3. Kuda Amerika punya sebuah jantung
4. Kuda Inggris punya sebuah jantung
5. ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung
Macam-macam penalaran deduktif, adalah :
1. Silogisme, adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposisi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan). Dengan fakta lain bahwa silogisme adalah rangkaian 3 buah pendapat, yang terdiri dari 2 pendapat dan 1 kesimpulan.
Contoh :
Andi adalah seorang pecinta hewan.
Kucing adalah hewan.
Andi adalah pecinta kucing.
2. Entimen, adalah penalaran deduksi secara langsung dan dapat dikatakan pula silogisme premisnya dihilangkan atau tidak diucapkan karena sudah sama-sama diketahui.
Contoh :
Siswa teladan ialah siswa yang selalu mematuhi peraturan di sekolah.
Mirabela adalah siswa teladan.
Mirabela tidak mungkin tidak mematuhi peraturan di sekolah.
Macam-macam Penalaran Induktif, adalah :
1. Generalisasi, adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual (khusus) menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis individual yang diselidiki.
2. Analogi, adalah suatu proses penalaran untuk menarik kesimpulan/referensi tentang kebenaran suatu gejala khusus lain yang memiliki sifat-sifat esensial penting yang bersamaan.
3. Hubungan Kausal, adalah cara penalaran yang diperoleh dari peristiwa-peristiwa yang memiliki pola hubungan sebab akibat. Salah satu variabel (independen) mempengaruhi variabel yang lain (dependen).
Gr. van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus antara lain:
1.Meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi);
2.Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian);
3.Menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan;
4.Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan hukum itu;
5.Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus;
6.Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian;
7.Merumuskan (formulasi) penyelesaian.
Sedangkan Shidarta menyebutkan enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:
1.Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
2.Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus ter-sebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
3.Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
4.Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
5.Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.
Sumber:
http://henytik.blogspot.com/2011/08/pola-berpikir-deduktif-dan-induktif.html
http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/03/penalaran-tentang-hukum.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Logika
http://vanyarachell.blogspot.com/2014/03/teori-yang-berhubungan-dengan-penalaran.html
http://bacock.blogspot.com/2014/03/teori-teori-yang-berhubungan-dengan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar